Segi budaya merupakan tantangan dakwah Islam yang relatif
berat karena budaya mengandung tata nilai yang diyakini secara mendalam oleh
para pemiliknya. Tata nilai budaya tersebut tidak semuanya sesuai dengan
kebenaran agama Islam yang disosialisasikan oleh para da’I di masyarakat. Dalam kasus
tertentu, umat Islam akan berwajah ganda, pada satu sisi mereka teguh
menjalankan ajaran agama Islam, tetapi pada sisi yang lainnya mereka tetap menjalankan
budaya-budaya lokal yang boleh jadi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena
sosial ini oleh para antropolog disebut sinkretis.
Tarik-menarik antara wilayah agama dan wilayah budaya merupakan pekerjaan
rumah yang belum dapat diselesaikan
sempurna sejak penyebar Islam Walisongo sampai masa sekarang. Muslim yang
sinkretis masih mudah ditemukan dimana-mana di
belahan bumi Indonesia. Katsumiko Seino (1988) dalam penelitiannya menemukan delapan metode dakwah
Walisongo dalam menghadapi tantangan budaya, seperti: metode keeping,
metode addition, metode modivication, metode devaluation,
metode exchange, metode substitution, metode creation of new
ritual, dan metode negation.
Tantangan segi budaya yang lebih dahsyat bersumber
dari budaya-budaya yang lahir sejak dunia menjadi kampung global (era
globalisasi). Budaya-budaya lokal dari seluruh penjuru dunia, dan budaya
populer sebagai budaya yang tercipta sejak dunia terintegrasi secara global,
masuk ke ruang-ruang private dan ruang public tanpa dapat
difilter apalagi dikendalikan oleh kekuatan negara sekalipun.